Mengenang Gabriel Batistuta, Dewa Gol Fiorentina Yang Meraih Scudetto Bersama AS Roma
Penampilan
impresifnya bersama tim Tango Argentina yang menjuarai Copa America 1991
menjadi awal ketertarikan Fiorentina memboyong pemain yang memiliki tinggi
tubuh 185 cm ini untuk menjajal kerasnya kompetisi Eropa di Serie A Italia.
Pilihan yang tidak salah karena pada musim pertamanya bersama La Viola
Batistuta langsung tokcer dengan
mencetak 13 gol di Liga Italia.
Bersatunya
Batistuta dan AS Roma dalam sebuah tim bak berjodoh karena berkat kehadiran
Batigol klub ibukota itu memenangkan Scudetto pertama mereka sejak tahun 1983.
Batistuta dicatat Transfermarkt mencetak 20 gol dan berkontribusi besar
pada raihan bersejarah tersebut. Penyerang legendaris Argentina itu kelak akan
selalu mengenang musim ini karena itulah gelar bergengsi satu-satunya selama
dirinya berkarir di Eropa.
Ketajaman
Batistuta di depan gawang jadi berkah bagi Fiorentina. Transfermarkt mencatat sejak musim 1991/1992 sampai musim terakhirnya di
1999/2000, Batistuta selalu mencetak lebih dari 12 gol di Serie A Italia. Pria
kelahiran tahun 1969 itu bahkan sempat melesakkan lebih dari 20 gol di Liga
Italia dalam 3 musim beruntun terakhirnya di Fiorentina. Julukan Batigol
kepadanya menggambarkan total 207 gol dalam 333 laga bersama Fiorentina. Wow!
Fiorentina
bak berjodoh dengan Batistuta tapi tampaknya tidak demikian dengan Batistuta.
Meski sudah memberikan kontribusi terbaik di depan gawang berkat lesakan
gol-golnya, Batistuta terbilang sangat minim gelar juara di Fiorentina.
Bayangkan saja, dalam 9 musim bertaburkan gol-gol dari kepala dan kakinya,
Batistuta hanya memenangkan gelar juara Coppa Italia dan Super Coppa Italia
tahun 1996. Ini belum menghitung dengan trofi juara Serie B musim 1993/1994.
What! Juara Serie B? Ya.
Anda tidak salah baca. Fiorentina bisa-bisanya terdegradasi ke Serie B meski
memiliki striker sehebat Batistuta. Makin hebat lagi, Batistuta tidak lantas
kabur ketika klub tersebut turun level ke Serie B. Dengan sumbangan gol-golnya,
klub itu dituntun kembali promosi ke Serie A Italia. Sungguh beruntung
Fiorentina memilki penyerang seperti Batistuta. Saya membayangkan di masa sekarang penyerang setajam dirinya akan
langsung hengkang ke klub lain ketika klub lamanya degradasi di akhir musim.
Batistuta
pada akhirnya hanya seorang manusia biasa. Dirinya merasakan kegelisahan
setelah bermusim-musim tidak juga memenangkan gelar Scudetto. Meski Fiorentina
terlihat menjanjikan saat dirinya membentuk trio poros maut bersama Rui Costa
dan Francesco Toldo, klub itu tidak kunjung kompetitif berburu gelar juara.
Batistuta makin gelisah.
Kegelisahan
Batistuta akhirmya menemui puncaknya ketika sang bintang yang sudah dianggap
“Dewa Gol” bagi fans Fiorentina itu memutuskan hijrah ke AS Roma, klub elit
Italia yang tampak sangat serius berburu gelar Scudetto. Cintanya pada
Fiorentina tidak terbantahkan tapi sebagai seorang individu dirinya butuh
pembuktian pribadi untuk meraih gelar juara bergengsi dalam riwayat karir
profesionalnya.
Keputusannya
hijrah ke AS Roma benar-benar sudah bulat meski gelombang protes dari fans yang
mencintainya berlangsung marak. Batistuta bahkan rela menanggalkan nomor
punggung 9 yang identik dengan dirinya karena harus mengalah dengan Vincenzo
Montella sang pemilik nomor punggung tersebut di AS Roma. Nomor punggung 18
lantas menjadi pilihannya. Alasannya? Simpel, karena 18 berarti 1+8 = 9 alias
tetap saja nomor 9 hehehehehe
![]() |
Kepindahan Batistuta ke Roma berbuah gelar Scudetto satu-satunya - Photo by dailymail.co.uk |
Musim
Scudetto bersama AS Roma pada musim 2000/2001 juga menandai puncak karirnya di
Eropa. Setelah musim tersebut perlahan tapi pasti Batistuta mengalami penurunan
performa. Transfermarkt mencatat 20 gol yang dilesakkannya saat
membawa AS Roma Scudetto adalah kali terakhir dirinya bisa mencetak gol
sebanyak dua digit.
Batistuta
setelah itu tidak pernah lagi bisa mencetak lebih dari 10 gol dalam semusim
meski masih berada di AS Roma selama 2 musim berikutnya. Bahkan ketika hijrah
ke klub sekelas Inter Milan pun dirinya bak sudah kehilangan taji. Pada sisi
ini tampaknya keputusan Batistuta segera meninggalkan Fiorentina dan meraih
Scudetto bersama Roma adalah keputusan terbaik yang pernah dibuatnya.
Bagaimana
jika dirinya tetap bertahan bersama Fiorentina dan kemudian mengalami penurunan
performa tanpa pernah merasakan gelar Scudetto? Ada semacam firasat yang
dirasakan Batistuta bahwa dirinya hanya bisa semusim lagi berada di level
tertinggi performanya dan itu harus dilakukan di klub yang tepat. AS Roma
terbukti menjadi klub yang tepat untuk dirinya melesakkan kemampuan terbaiknya
untuk kali terakhir.
Batistuta
memenangkan gelar Scudetto satu-satunya bersama AS Roma. Fans AS Roma kelak
akan mengenangnya sebagai pria yang membuka kunci keberhasilan bagi Totti dkk
mencapai puncak prestasi di musim 2000/2001. Bagi fans Fiorentina, sosok ini
tetap akan dicintai meski kemudian berpaling hati demi gelar Scudetto yang
diidam-idamkan.
Pria
ini sejatinya sangat mencintai Fiorentina dan itu sudah dibuktikannya dengan
tetap bersama klub meski harus bertarung di Serie B. Bagaimana Batistuta
menangis berurai air mata usai menjebol gawang Fiorentina dalam balutan kostum
AS Roma sudah lebih dari cukup menggambarkan hal itu. Air mata sang legenda.
Post a Comment